Jumat, 10 Desember 2010

Good Governance

Good Governance merupakan bagian dari paradigma baru yang berkembang dan memberikan nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi seiring dengan tuntutan era reformasi. Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpian nasional masa depan, yang diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang. 
Perkembangan situasi nasional dewasa ini, dicirikan dengan tiga fenomena yang dihadapi, yaitu:
1.         Permasalahan yang semakin kompleks (multi-dimensi);
2.       Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi, kebijakan, dan aksi-reaksi masyarakat);
3.       Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang tak mudah diprediksi, dan perkembangan politik yang "up and down".

Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah

tobe continued

Dangdut, Bahasa Kaum Marjinal?






Saya punya teman yang alergi musik dangdut. Kalimat favoritnya kalau saya mulai pamer koleksi album Meggy Z adalah, "Ente cakep-cakep seleranya enggak nahan!"

Dari kalimat hinaan teman saya itu, timbul pertanyaan sederhana: mengapa ia, yang mungkin merasa dirinya begitu urban, menolak mendengarkan musik dangdut? Apakah telinganya memang tidak cocok dengan beat musik dangdut, ataukah karena label yang mengikuti penggemar musik dangdut (kampungan, berpendidikan rendah, ekonomi sulit)?

Dalam hemat saya, alasan kedua rasanya lebih masuk akal. Citra dangdut sebagai musik kampungan rupanya memang telah terbangun sedemikian rupa. Nyaris menjadi common sense (nalar awam) yang tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat kita. Tetapi benarkah musik dangdut hanya bicara pada kelas tertentu?

Sebentuk Komunikasi Budaya
Sebelum membahas permasalahan tersebut, kita perlu mempertanyakan dahulu apakah hubungan antara musik dangdut dengan komunikasi budaya sebagai sub tema tulisan ini. Untuk itu pertama-tama kita perlu melihat dulu definisi budaya itu sendiri. Budaya (culture) berakar dari tradisi pertanian yang berarti mengolah tanah.

Barker (2000) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya selama abad ke-19, definisi budaya berkembang menjadi lebih antropologis. Raymond Williams, seorang kulturalis Inggris, menggambarkan kebudayaan sebagai ‘cara hidup secara keseluruhan dan bersifat khas’ dengan penekanan pada ‘pengalaman hidup’. Kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. (www.kunci.or.id) Apapun tujuan praktik budaya, sarana produksinya tak terbantahkan lagi selalu bersifat materi. Dalam hal ini musik dangdut bisa dikategorikan sebagai sarana produksi praktik budaya.

Aspek komunikasi dari musik dangdut datang dari banyak segi: lirik, gaya berpakaian penyanyinya, cara bergoyang, bentuk panggung, semuanya mengkomunikasikan pesan-pesan dan nilai-nilai tertentu. Akan sangat menarik untuk membicarakan semiotika pesan dan nilai yang dibawa musik dangdut tersebut. Meski demikian, tulisan ini akan berfokus pada lirik lagu dangdut yang kemudian akan dihubungkan dengan berbagai fenomena untuk menjawab pertanyaan apakah dangdut merupakan bahasa kaum marjinal. Komunikasi budaya memang bukan melulu bicara tentang komunikasi antar etnis, ras atau bangsa. Musik dangdut sebagai bentuk komunikasi dari nilai-nilai budaya kaum pinggiran (atau terpinggirkan) juga menarik untuk dibicarakan sebagai cakupan dari komunikasi budaya.

Cinta dan Moralitas si Miskin

Faruk HT, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam esainya di situs Kunci cultural studies berpendapat bahwa dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal, baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.

Ada teramat banyak lirik lagu dangdut yang seolah menegaskan posisi marjinal kaum penggemarnya. Mayoritas lirik lagu dangdut bicara tentang cinta dan moralitas dalam kacamata si miskin. Perhatikan lirik berikut: sebelum kamu mau/pikir-pikir dahulu/semua orang tahu siapa diriku/karena aku termiskin di dunia/kau orang kaya, aku orang tak punya/ Ada aroma inferioritas dalam lirik tersebut, terutama di kalimat terakhirnya. Bagaimana si penyanyi merasa dirinya yang miskin tidak pantas mendapatkan pujaan hatinya yang secara sosial ekonomi lebih tinggi daripada dirinya.

Irasionalitas dalam cinta juga tersirat dalam teks jangan kau bunuh aku dengan cinta/lebih baik aku mati di tanganmu/daripada aku mati bunuh diri/ Siapapun bisa menderita karena cinta, tetapi lewat teks tersebut ‘bunuh diri’ sebagai suatu kategori irasional diposisikan sebagai monopoli kaum miskin yang, karena kurangnya pendidikan, ketika mengalami patah hati tidak mampu berpikir jernih dan rasional.

Bagaimana dengan moralitas? Lewat lagu-lagu Rhoma Irama, moralitas ‘diajarkan’ dalam bentuk komunikasi searah. Bagaimana Rhoma Irama memosisikan dirinya sebagai pihak yang serba tahu, memberikan pengarahan pada para pendengarnya (yang serba tidak tahu). Dalam lagu begadang jangan begadang/kalau tiada artinya/begadang boleh saja/asal ada gunanya/ misalnya. Lalu lagu-lagunya yang memiliki pesan moral untuk melarang berzina, mabuk, mencuri, berjudi. Lewat lagunya, Rhoma Irama seolah bicara pada segerombolan besar manusia yang liar, bodoh dan perlu ditertibkan.

Kesamaan dalam teks-teks lagu dangdut, baik itu tentang cinta maupun moralitas, adalah dari bahasa yang digunakan. Kalimat-kalimat teksnya sederhana, langsung pada poinnya, tidak mengandung metafora atau analogi puitis, cenderung dramatis, serta acap kali berima (ab-ab atau aa-bb) sebagai pengaruh dari langgam melayu yang menjadi akarnya. Sekarang pertanyaannya adalah: apakah teks lagu dangdut menjadi bahasa kaum marjinal karena karakteristiknya yang demikian, atau memang karakteristiknya sengaja dibuat demikian agar dapat menjadi bahasa bagi kaum marjinal? Mana yang lebih dulu?

Disini kita bisa menilik paham strukturalisme, aliran pemikiran yang lebih mementingkan hubungan antar hal ketimbang hal itu sendiri. (L.P. Hok, 2005) Ide awal tentang strukturalisme datang dari pakar bahasa Ferdinand de Saussure. Pokok ajarannya adalah, seperti ditulis Bertens (p.182-183), “.. yang penting dalam bahasa ialah aturan-aturan yang mengkonstruksikannya. Yang penting ialah susunan unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain. Yang penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu. Setiap tanda bahasa mewujudkan suatu nilai yang tercantum di dalam sistem bahasa bersangkutan menurut perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang mewujudkan nilai-nilai lain.”

Meskipun awalnya dari studi bahasa, Saussure sendiri sudah yakin akan datang masa dimana ilmu-ilmu pengetahuan yang lain akan memakai paham ini sebagai dasar untuk memandang berbagai fenomena. Salah satunya seperti yang dilakukan antropolog Claude Lévi-Strauss yang mengaplikasikan strukturalisme ke dalam ilmu antropologi. Dalam salah satu studinya, Lévi-Strauss mengungkapkan bahwa sebagaimana bahasa seluruhnya merupakan sistem tanda, demikian pun unsur-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. (Bertens, 1996)

Dalam kasus musik dangdut, dapat kita lihat bahwa unsur struktur sangat memainkan peran. Dangdut mendapat peran sebagai musik kaum marjinal karena demikian yang diminta oleh struktur yang melingkupinya. Struktur yang ada menafikan eksistensi dangdut sebagai musik yang memiliki keunikannya sendiri, mungkin dari segi tone, beat, dan lain-lain. Relasi dan oposisi dalam struktur tersebut dapat kita lukiskan sebagai berikut,

Kota : Desa
Non-dangdut : Dangdut
Berpendidikan : Bodoh
Kaya : Miskin
Modern : Kampungan

Struktur telah mengkonstruksinya sedemikian rupa sehingga hubungan antar hal yang terbina lebih penting daripada hal itu sendiri. Relasi antara dangdut dengan musik lain, dalam hal ini mengenai citra psikografis, sosial, ekonomi pendengarnya, lebih diperhatikan daripada melihat kekhususan masing-masing jenis musik itu sendiri.

Karena struktur yang melingkupinya inilah, lirik lagu dangdut kemudian menyesuaikan dengan ‘kapasitas’ dan kondisi pendengarnya. Sama saja dengan musik jazz, yang tadinya merupakan musik pemberontakan malah menjadi musik yang identik dengan kaum menengah ke atas. Perhatikan bahwa iklan-iklan produk yang sasaran marketnya mid-low banyak menggunakan jingle dengan musik dangdut. Banyak pula pejabat-pejabat negara kita yang ‘mendadak dangdut’ (meminjam judul film karya Rudi Soedjarwo) sampai mengeluarkan album menjelang pemilihan pejabat untuk meraih hati kaum marjinal, yang jumlahnya memang sangat besar.

‘Bukti’ lain yang mendukung proposisi ini adalah yang ditulis Faruk HT,

“Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu wajib adalah "Begadang". Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami memang lain dari mereka yang "begadang kalau ada perlunya".


Dapat dilihat bahwa, ternyata, para pendengar Rhoma Irama tidaklah sepasif yang dikira. Mereka, seperti dicontohkan Pak Faruk remaja, bisa menjadi audiens aktif yang memilih sendiri apa yang mau dilakukan dengan lagu yang mereka dengar. Dalam hal ini, meminjam konsep Stuart Hall, mereka malah menjadi oppositional reader yang melakukan hal berlawanan dengan apa yang dimaui teks. Jadi, dangdut dipersepsikan sebagai bahasa kaum marjinal karena struktur yang melingkupinya, bukan karena karakter musik dangdut memang demikian adanya.

Konsekuensinya, kita tidak bisa lagi berpikiran sempit bahwa jenis musik tertentu adalah untuk kaum tertentu dan hanya bicara pada kaum tertentu. Kebudayaan, dalam hal ini termasuk musik dangdut, bersifat “politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan cara menaturalisasikan tatanan sosial sebagai suatu fakta ‘niscaya’, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi di dalamnya”. (Barker, 2000)

Sebagai penutup, kita dapat merefleksikan kalimat Herbet J. Gans dalam pembukaan bukunya, “.. that all people have a right to the culture they prefer..”

*ditulis untuk kompetisi esei mahasiswa jurusan ilmu komunikasi se-Jawa Tengah, 2006. diposting dengan sedikit perubahan tekstual. gambar dari herukurniawan.com

Ciptakan Solo sebagai Surga Kaum Marginal

Selama 1,5 tahun bagi Suwono mencoba masuk ke komunitas kaum marginal (pinggiran) di Kota Solo. Selama waktu itulah, kakek berusia 50 tahun itu, setiap hari menghabiskan waktunya menyusuri bantaran sungai yang terletak di Pinggir Jembatan Kali Anyar, Cinderejo Lor, Gilingan, Banjarsari, Solo. Dalam penyusuran itu, terbesit di benaknya membangun persinggahan untuk bocah-bocah jalanan di Solo.
Impiannya terkabul, Sabtu (10/7) kemarin, karena rumah singgah untuk kaum marginal yang dia namakan dengan sebutan rumah prestasi telah diresmikan oleh sejumlah lembaga peduli anak dan kaum marginal di Kota Solo. Sejatinya, rumah prestasi untuk kaum marginal yang ada pertama kali di Solo bukanlah berbentuk rumah yang sempurna. Melainkan sebuah serambi kecil yang multifungsi. ”Di sini anak-anak bisa mendapatkan  pendidikan. Karena ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kelompok belajar taman pintar, beasiswa terpadu, pelatihan keterampilan. Rumah ini juga difungsikan untuk persinggahan anak jalanan,” kata Suwono kepada Joglosemar.
Selain membangun rumah prestasi untuk kaum marginal, pimpinan Majelis Asy Syifaa` itu juga aktif memberikan beragam keterampilan untuk para Pekerja Seks Komersial (PSK). ”Seperti mendaur ulang limbah sabun dan membuat keripik,” ujarnya.
Perbaiki Kehidupan
Ada niat mulia dari kakek paruh baya ini dengan mendirikan rumah prestasi untuk kaum marginal, yakni ingin memperbaiki kondisi kehidupan orang-orang pinggiran agar tidak terlalu terjerumus dalam ”lembah kehidupan hitam”.
 Awalnya, ia hanya seorang diri melalui Majelis Asy Syifaa’ merintis rumah singgah untuk kaum marginal itu, namun, lambat laun sejumlah lembaga peduli anak dan kaum marginal seperti Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP2A) Al Ihsan Kota Surakarta tertarik bergabung. ”Hampir sekitar 60-an anak jalanan sudah masuk di rumah prestasi ini. Tak ada harapan lain, kecuali untuk membina anak-anak kaum marginal tersebut supaya tetap berprestasi di sekolah dan tentunya memiliki akhlak yang baik di rumah dan di lingkungannya,” tuturnya.
Di rumah prestasi tersebut, anak-anak dan orangtua dari kaum marginal mendapatkan pendidikan dengan baik. Untuk anak-anak, dibekali materi pelajaran sekolah serta pendidikan agama. Sedangkan untuk orangtua juga mendapatkan pendidikan agama serta mendapatkan keterampilan.
Diakui Suwono, butuh biaya untuk merealisasikan rumah prestasi kaum marginal tersebut. Beruntung, ada sejumlah donatur yang ikut peduli dengan upaya Suwono untuk memperbaiki kehidupan kaum marginal tersebut. ”Ini yang pertama di Solo. Semoga bisa menjadi percontohan nasional ke depan,” katanya. (Dwi Hastuti)

diambil dari harianjoglosemar.com

Kamis, 09 Desember 2010

Kelompok Marjinal di Perkotaan: Dinamika, Tuntunan, dan Organisasi

Istilah “miskin” merendahkan martabat.
Istilah “terpinggirkan” secara politik lebih punya makna.



Klarifikasi atas Istilah: Siapakah Kelompok Marjinal itu?
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama.
Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagaimana lantas kelompok-kelompok terpinggirkan mendefinisikan dirinya? Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota.
Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.
Seorang aktivis untuk kelompok terpinggirkan bercerita bahwa istilah ‘miskin’ pernah digunakan ketika sejumlah anak muda di kota Solo membentuk organisasi bernama KMKMK (Kaum Muda untuk Kaum Miskin Kota). Namun, komunitas yang mereka dukung tidak menyukai nama itu sehingga nama organisasi itu diubah menjadi SOPING (Solidaritas untuk Kaum Pinggiran).
Alasan lain yang sering dikemukakan adalah karena istilah “miskin” memiliki konotasi melarat. Kenyataannya, memang tidak semua dari kelompok marjinal di perkotaan seperti penyandang cacat atau pedagang kaki lima berada dalam kondisi seperti itu.
Bagaimana pihak pendukung upaya pengentasan kemiskinan mendefinisikan kelompok marjinal?. TKS-CDS kota Surakarta , dipelopori oleh dosen-dosen universitas setempat dan aktivis LSM, mendefinisikan kelompok terpinggirkan sebagai: “mereka yang datang dari sektor informal, yang sering tidak punya akses ke kekuasaan, dan yang memiliki pengaruh kecil dalam pembangunan”. Meskipun demikian, kelompok kerja ini tetap menggunakan istilah “kaum marjinal” dan “kaum miskin kota” secara bertukaran.
Delapan kelompok marjinal dimasukkan dalam penyusunan CDS terakhir: pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar , penata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen). Karena dalam penyusunan oleh kelompok kerja itu yang “marjinal” terbatas pada sektor informal, maka buruh pabrik tidak termasuk. Memang, dalam proyek “partisipatif” yang didanai Bank Dunia, termasuk CDS, buruh pabrik jarang dilibatkan dalam proses itu. Kemungkinan lain adalah bahwa kelompok yang telah menghasilkan kesatuan tradisional berbasis-kelas di masa lalu tidak mendapat sambutan baik dalam iklim politik lokal di Indonesia kini.
Selain itu, tampaknya kelompok yang dipilih untuk terlibat dalam CDS adalah mereka yang sudah relatif terorganisasi, sudah terlibat dalam aktivitas advokasi di tingkat kota, dan yang aktivitasnya sering diliput oleh media massa.
Bagaimanakah dengan program yang diinisiasi oleh Pemerintah Kota sendiri?. Pemerintah Kota Solo, khususnya Bapeda-nya, memasukkan PSK (Pekerja Seks Komersial) dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif tahunan mereka.
Para PSK dilibatkan karena keberadaan mereka dianggap sebagai salah satu masalah sosial kota (menurut definisi pemerintah). Hal ini menandakan perbedaan perspektif—bahwa sebagian kelompok dicakup karena mereka adalah masalah bagi komunitas yang lebih luas ketimbang karena mereka miskin atau terpinggirkan. Ringkasnya, bagi Pemerintah Kota Solo, keberadaan sebagian kelompok marjinal secara umum sudah diakui (seperti PKL, pengemudi becak, penyandang cacat, bahkan PSK). Pengakuan ini bukan semata-mata karena keberadaan mereka di dalam kota, melainkan karena keterlibatan aktif mereka dalam aktivitas publik formal atau berkat kerja LSM-LSM, akademisi dan pejabat negara. Tetapi, sektor atau komunitas mana yang teridentifikasi sebagai bagian dari kaum marjinal ternyata tetap beragam.
Dalam kaitannya dengan proses partisipatif di semua level kota, tingkat keterlibatan kelompok-kelompok marjinal meningkat ketika organisasi mereka lebih terkelola dan menjadi dikenal.

Dinamika dan Tuntutan Kelompok Marjinal di Kota Solo
Cerita singkat berikut adalah mengenai dua dari sejumlah kelompok marjinal di Kota Solo, yaitu kelompok pedagang asongan dan pengemudi becak, yang akan mengilustrasikan dinamika kehidupan mereka dan relasinya dengan kebijakan perkotaan.
Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas.
Sekelompok pedagang asongan di Terminal Tirtonadi ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Kira-kira pada waktu bersamaan, sekelompok pedagang asongan di Stasiun Balapan juga mengalami masalah serius. Pada 2001, 78 pedagang asongan di stasiun Balapan, 90% darinya adalah perempuan, mengalami marjinalisasi yang sangat gamblang.
Sebuah kebijakan baru untuk mengubah jadwal kereta diperkenalkan dan kereta kelas ekonomi tidak lagi berhenti di Stasiun Balapan, tetapi di Satsiun Jebres kira-kira 3 kilometer dari Stasiun Solo Balapan. Kebijakan ini dibuat oleh manajemen regional perusahaan kerta api milik pemerintah tanpa konsultasi atau penjelasan memadai kepada para pedagang asongan. Dicurigai bahwa PT KAI memiliki agenda tersembunyi sebab ia sudah membangun sejumlah kios yang menjual snack dan makanan di Stasiun Jebres.
Sebagai akibat kebijakan ini, pendapatan pedagang asongan di Balapan merosot hingga separuh. Kondisi ini menjadi lebih buruk ketika ketentuan lain diambil, seperti merelokasi kursi tunggu dari sisi utara rel stasiun ke sisi selatan. Yang sungguh membuat marah pedagang asongan adalah bahwa, sesudah itu, izin di sisi selatan rel stasiun diberikan pedagang pedagang-pedagang baru yang mempunyai koneksi pribadi dengan pejabat tinggi di PT KAI.
Mereka menjual dagangan yang sama kepada pedagang asongan yang ada tetapi penjualan mereka sekitar lima kali lipat dari mereka pedagang lama yang kini menempati sisi utara rel stasiun. Menilai dari kasus ini, tampaknya keputusan-keputusan yang mempengaruhi mata pencaharian kelompok pedagang asongan ini dimonopoli oleh penguasa formal (kepala stasiun dan pejabat tingkat tinggi PT KAI).
Pembuatan keputusan secara sepihak, atas “pelayanan yang lebih baik kepada konsumen” dirasakan tidak adil dan tidak manusiawi oleh para pedagang asongan.
Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka.
Jika DPRD Solo dan eksekutif Kabupaten Solo berkehendak menekan pejabat perusahaan tersebut yang ada di Yogyakarta dan Bandung , maka keputusan-keputusan itu boleh jadi berbeda. Namun, tampaknya para pedagang asongan ini juga terpinggirkan di Solo untuk bisa memengaruhi representasi lokal.
Satu-satunya pihak yang masih mau mendengar pedagang asongan adalah LSM dan organisasi mahasiswa. Mereka melakukan jajak pendapat di atas kereta dan mendapat 227 responden.
Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan responden, yang menggunakan jasa kereta api, tidak setuju dengan kebijakan baru untuk mengubah tempat pemberhentian bagi kereta ekonomi. Namun, hal ini tidak mendorong sedikit pun perubahan kebijakan. Kebijakan menyangkut pedagang asongan di stasiun Solo Balapan dibuat di Yogyakarta dan Bandung tempat kantor wilayah dan nasional PT KAI berada, dan karena itu melampaui kemampuan pedagang asongan stasiun dan LSM Solo untuk mempengaruhi.
Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam melompat ke kereta dan coba menjajakan dagangan mereka di kereta kelas eksekutif ketika kereta itu berhenti di stasiun Balapan (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan.
Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas stasiun membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang beberapa saat sebelum kereta di Solo Balapan meninggalkan stasiun.
Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan anggota kelompok ini di Solo, persepsi ini belum tentu benar.
Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di Solo sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas.
Berdasarkan data resmi, jumlah pengemudi becak yang beroperasi di Solo adalah 7.150. laporan CDS tahun 2003 menyatakan bahwa populasi pengemudi becak di Surakarta adalah 10.625. tetapi, juru bicara dari perkumpulan pengemudi becak menyatakan bahwa minimal ada 14.000 becak yang beredar di Solo.
Informasi berbeda mengenai jumlah becak bisa dilihat sebagai indikasi sulitnya penguasa dalam menangkap besarnya masalah yang menyangkut sektor informal atau, seperti juga terjadi dalam kasus lain seperti pedagang kaki lima, sebuah jumlah yang over-estimated adalah cara yang digunakan oleh kelompok marjinal untuk mendorong lebih banyak tekanan pada pejabat publik dan politisi.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah Kotamadya Solo menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Perda No. 9/1991 hendak mengatur keberadaan pengemudi becak di Solo dengan mengurangi jumlahnya secara bertahap.
Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi di Solo setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Pengemudi becak dari wilayah lain dilarang memasuki Kota Solo. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu seperti Jalan Jenderal Sudirman, di mana Balai Kota terletak. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini.
Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi di Solo cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat: Ada rute yang biasa menjadi milik kami, tetapi kini dipakai oleh angkutan.
DLLAJ sangat aktif mengeluarkan izin operasi baru, sehingga pengemudi becak merasa hak-hak mereka “diserobot” oleh rute angkutan nomor 03,05, 04, 09.
Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dalam pengambilan keputusan adalah PPBS (Paguyuban Pengemudi Becak Solo), yang dibentuk pada 1996.
Pada April 2002, seorang ketua PPBS menyatakan bahwa pendapatan anggotanya menurun sebagai akibat kebijakan-kebijakan sepihak yang ditetapkan oleh DLLAJ, seperti keputusannya tentang area yang terlarang bagi pengemudi becak (pembebasan kawasan becak) serta keputusannya mengenai penerapan peraturan yang mengatur bagaimana beroperasinya becak. Mereka meyakinkan DLLAJ untuk melibatkan pengemudi becak dalam membuat keputusan apa pun menyangkut pengemudi becak.
Pada Maret 2002, untuk mengimplementasikan perda No.9/1991, Surat Edaran No. 5551.2/829 dikeluarkan oleh DLLAJ, yang mengumumkan bahwa Dinas tersebut berencana mengadakan sebuah kegiatan untuk memperbaiki “keselamatan, ketertiban, dan keteraturan lalu lintas” yang disebut “Operasi Penertiban”.
Pengemudi becak dari berbagai asosiasi termasuk PPBS sangat menentang kebijakan ini. Ratusan pengemudi becak berkumpul untuk berdemonstrasi di DPRD dan menggelar dialog dengan anggota eksekutif dan legislatif. Hasilnya, operasi tersebut “ditangguhkan”.
Pada Agustus 2003, akses ke Jalan Jenderal Sudirman tertutup bagi pengemudi becak. Kali ini asosiasi pengemudi becak FKKB yang mengawali protes untuk menolak kebijakan baru DLLAJ ini. Demikian pula, FKKB juga menuntut dilibatkannya mereka dalam pembuatan keputusan. Hasil dari protes ini adalah mereka dibolehkan melewati jalan Sudirman lagi, tetapi tidak boleh berhenti atau menunggu penumpang di sepanjang jalan itu.
Walaupun berhasil mengubah beberapa kebijakan, nasib pengemudi becak selalu dalam bahaya. Pada April 2003 pemerintah daerah Solo mengeluarkan sebuah izin untuk beroperasinya Bajaj.
Lagi-lagi, kebijakan ini sangat ditentang oleh pengemudi becak Solo. Awalnya, wakil-wakil dari PPBS pergi ke kantor DPRD untuk menyampaikan penolakan mereka atas keputusan ini. Menyusul aksi ini, ratusan pengemudi becak membentuk suatu aliansi; Front Becak Anti Bajaj. FBAB menggelar serangkaian demonstrasi protes di kantor DPRD. Mereka berhasil menekan Ketua dan anggota DPRD untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa mereka mendukung aspirasi pengemudi becak untuk menolak beroperasinya bajaj di Solo. Sesudah berhasil menekan DPRD, mereka menggelar aksi lagi di kantor Walikota dan menekan Walikota. Terancam oleh pengemudi becak yang menjadi antagonis terhadap partai PDIP-nya, akhirnya Walikota setuju menghentikan kebijakan itu.
Mengapa protes ini berhasil? Ada beberapa kemungkinan penjelasan. Bisa jadi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi becak menakutkan bagi pemerintah daerah dan anggota legislatif bahwa demo itu bisa berubah menjadi kerusuhan yang tak terkendali, sehingga mereka merasa tak punya pilihan lain selain sepakat menghentikan kebijakan ini.
Kemungkinan lain adalah bahwa gerakan pengemudi becak punya kekuatan lain, afiliasi politiknya dengan partai yang berkuasa, PDIP. Ketua DPRD serta Walikota berasal dari partai ini dan sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pengemudi becak di Solo adalah pendukung kuat PDIP. Para pengemudi becak telah efektif menggunakan akses mereka kepada para politikus di dalam gerakan mereka.
Pada 2004, menyadari bahwa “kemenangan” mereka tidak akan bertahan lama, asosiasi pengemudi becak, dipimpin oleh FKKB, memusatkan gerakan mereka pada penyusunan sebuah draft untuk perda mengenai pengemudi becak. Draft tersebut diberikan kepada anggota legislatif 2004 yang baru saja terpilih dan meminta menandatangani sebuah tanda terima dengan pernyataan bahwa mereka berjanji membawa dan memperjuangkan draft tersebut untuk didiskusikan di pertemuan-pertemuan DPRD ke depan. 25 dari 40 angggota legislatif menandatangani.
Apa Tuntutan Kelompok-Kelompok Marjinal?
Kelompok Marjinal di Solo percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota.
Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.
Kaum marjinal Solo menyadari bahwa mereka lemah di hadapan kebijakan-kebijakan publik, mulai dari kebijakan upah, kebijakan pajak, kebijakan investasi, kebijakan sosial dan program-program seperti pembangunan kembali kota dan pemerindahan kota. Kebijakan-kebijakan dan program-program ini sering kali secara langsung berhubungan dengan peluang pendapatan, baik secara positif maupun negatif.
Kaum marjinal di Solo semuanya merasa bahwa mereka direndahkan dan kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak diakui. Mereka marah bahwa mereka tidak dikehendaki dan banyak yang bahkan dianggap “sampah” kota.
Belajar dari cerita tentang kaum marjinal Solo ini, jelaslah bahwa mereka memahami diri mereka sebagai “korban kebijakan negara”. Kebanyakan kebijakan ditetapkan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri dan kepentingan teman bisnis mereka. Kebijakan-kebijakan seperti kapan dan di mana pengemudi becak bisa beroperasi, dan di mana kereta api akan berhenti, sesungguhnya tidak mempertimbangkan orang yang dipengaruhi/terkena imbas kebijakan ini.
Perda-perda dirancang dengan cara memberikan kekuasaan kepada Walikota untuk mengambil keputusan. Dalam banyak kesempatan, perda-perda ini jelas-jelas merusak peluang pendapatan dan kondisi hidup kaum marjinal. Akan tetapi, tuntutan utama kaum marjinal tidak menyangkut peluang pendapatan saja, melainkan keinginan mereka untuk diakui dan didengar tatkala kebijakan-kebijakan atau program-program tengah didesain.
Di Solo, tiap-tiap kelompok relatif terorganisasi dengan baik dan memiliki keterampilan untuk memobilisasi aksi lebih lanjut. Mereka memiliki strateginya sendiri untuk melawan kebijakan pemerintah dan/atau pengusaha yang merusak, sekalipun dalam banyak kasus hanya meraih sedikit sukses. Dukungan dari institusi luar, seperti media, LSM, dosen, dan organisasi mahasiswa, bisa sangat membantu mereka.

(*) Artikel ini ditulis oleh Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, anggota badan pembina Yayasan AKATIGA

mereka ada : kerja sosial dengan Seroja

Assalamualaikum,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Wah, akhirnya kita punya tempat untuk sharing cerita. Duh senangnya.
Hmm..udah cukup ah curhatnya, langsung aja deh ya masuk ke intinya.

Well, sebelumnya kami mau ceritain dulu nih, kami adalah mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota UNS. Jumlah mahasiswa dalam kelompok kami berjumlah 5 orang yang terdiri dari  Masturina K H (Koordinator), Muhammad Iqbal R, Putri Prasetyan, Rina wulandari,dan Yosafat F Siahaan. Kebetulan kami mendapatkan tugas kerja sosial dalam mata kuliah sosiologi perkotaan yang bekerjasama dengan PPATK Seroja. Kami mendapat mandat untuk mengurus kegiatan Taman Belajar.

Inilah cerita kami....:)

13 Oktober 2010

Sekitar pukul 3 sore kami menuju ke daerang panggung, yaitu tepatnya di belakang pasar Ledoksari. Bersama mbak Nana, pembimbing dari seroja, kami menuju kesana. Sesampai disana kami harus mendatangi tiap rumah untuk mengajak anak – anak ditempat itu untuk ikut mengaji dan bergabung bersama kami. Tidak mudah untuk mengajak mereka, kami harus membujuk mereka berkali – kali, tetapi ada juga beberapa anak yang membantu kami untuk mengajak teman – teman mereka.
Sekitar dua puluh menitan kami baru bias memulai kegiatan belajar. Seperti kebanyakan anak – anak, mereka masih tetap saja bermain sesuai keinginan mereka walaupun kegiatan sudah dimulai. Ada yang membeli jajan, bermain layangan, dan sebagainya.
Kegiatan awal adalah membaca iqro’ bagi yang muslim dan menyanyi bagi yang non muslim dan anak – anak balita. Setelah membaca iqro’ mereka akan bergabung dengan anak – anak yang sedang menyanyi.
Sekitar pukul 5 sore kami selesai melakukkan kegiatan di pasar Ledoksari dan kembali menuju seroja.

20 Oktober 2010
Kegiatan yang dilakukkan :
Tidak seperti minggu kemarin kegiatan kali ini diadakan agak sore yaitu pukul 4 sore. Kami berangkat menuju pasar ledoksari tanpa mbak Nana, karena mbak Nana sedang berhalangan hadir. Untung saja ada beberapa teman yang datang membantu jadi kami tidak begitu kewalahan menghadapi anak – anak.
Sesampai disana hanya beberapa anak yang hadir itu pun sebagian harus kita jemput satu – satu. Sebagian besar dari mereka (terutama yang masih bersekolah antara kelas 2 sampai 6) karena mereka pramuka.
Seperti biasa kegiatan diawali dengan membaca iqro’ satu – persatu. Karena anak – anak yang hadir hanya sedikit maka kami mengadakan agenda tambahan yaitu membuat kerajinan lipat, seperti origami, kapal, bunga, dsb.
Sekitar pukul 5 sore anak – anak yang dari pramuka sudah pulang dan bergabung bersama kami untuk belajar bersama. Kami belajar dan bermain bersama hingga waktu maghrib. Saat adzan maghrib berkumandang kami segera pulang.

18 November 2010
Di seroja tidak terlalu banyak adik-adiknya soalnya ada beberapa yang ke jogja, mungkin beberapa mereka ikud membantu di merapi atau malah selanjutnya.
Disana kita tidak terlalu lama karena tidak terlalu banyak aktifitasnya seperti biasanya.
Kemudian selesai dari itu kami semua divisi ada briefing sama mbak2&mas2 yang di seroja, mereka menjelaskan bahwa mulai minggu depan kita hanya perlu satu orang aja dari tiap divisi, soalnya akan lebih efektif bila diberlakukan seperti itu, jadi tiap orang dipastikan dapat bekerja.
Setelah briefing dilanjutkan ke teknisi alat elektronik, mereka menghimbau kalau ada barang-barang elektronik seperti hape, tivi, kipas angin, radio dsbg ada yang rusak bisa disumbangkan kepada mereka untuk diperbaiki dan kemudian dijual mereka agar menjadi salah satu mata pencaharian mereka dan kemudian uang hasil penjualan dapat untuk modal berjualan pulsa, agar mereka tidak melakukan hal-hal yang negative seperti mencuri dan merampok.